Oleh: H. MOHAMAD SURYA
(Ketua Umum PB PGRI/Anggota DPD RI/Guru Besar UPI dan Unpas Bandung)
Isu dunia pendidikan yang paling
mutakhir adalah berkenaan dengan pelaksanaan ujian nasional (terutama
untuk sekolah dasar). Isu ini cukup menghebohkan dan menimbulkan reaksi
pro dan kontra (lebih banyak kontranya) dari berbagai kalangan.
Hebatnya, pemerintah tetap ngotot. Sepertinya pemerintah sudah “tinggar
kalongeun” dengan segala arogansi kekuasaannya dan mengabaikan kaidah
konsepsional pedagogis dan legalitas konstitusional.
Alasan klasik yang disampaikan
oleh pemerintah adalah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional
demi peningkatan mutu SDM. Kita semua setuju bahwa diperlukan upaya
untuk menata pemetaan mutu pendidikan nasional di seluruh kawasan
Indonesia. Namun dengan alat apa? Dengan dasar apa? Aturan apa?
Manajemen bagaimana?
Ujian nasional
Sebagaimana kita maklumi, sehebat
apa pun suatu kebijakan, keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh
pihak yang ada pada tatanan terdepan di tingkat institusional dan
instruksional yaitu para guru beserta personel terkait lainnya.
Sebagai suatu program yang telah
dirancang sebagai satu kebijakan nasional, pelaksanaan UN harus disikapi
secara tepat. Pelaksanaan UN termasuk UN SD harus disikapi secara
positif dan bukan negatif. Secara objektif dan bukan subjektif. Secara
holistik dan bukan sempalan. Secara konsepsional dan bukan coba-coba.
Secara rasional dan bukan emosional. Secara pedagogis dan bukan
birokratis, apalagi politis.
Bagaimanapun tidak setuju atau
keberatan, kalau UN SD sudah menjadi satu kebijakan pemerintah, tiak ada
alasan untuk menolaknya. Artinya, semua unsur pelaksana pendidikan
harus melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan daya nalar yang kuat,
menyikapi pelaksanaan ujian nasional SD, ada beberapa hal yang perlu
dikaji secara mendalam dan konsepsional agar tidak menimbulkan gejolak
yang lebih buruk lagi. Hal dimaksud, dikaji, dan ditimbang itu antara
lain.
Pertama, SD dan SMP dalam satu
atap. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas telah menetapkan bahwa
jenjang pendidikan dasar terdiri atas SD/MI dan SMP/MTs sebagai satu
kesatuan. Konsekuensinya,
peralihan dari SD ke SMP seharusnya berlangsung secara otomatis tanpa
ujian (apalagi UN), tetapi melalui satu proses seperti layaknya kenaikan
kelas.
Kedua, program wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun. Program ini tidak hanya program
nasional, tetapi program global (pendidikan untuk semua) yang berlaku di
seluruh dunia dengan target pencapaian tahun 2015. Bila UN SD harus
dilaksanakan, secara langsung ataupun tidak akan menghambat program
wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang harus disukseskan
demi peningkatan sumber daya manusia. Dalam kondisi ini terdapat
ketidakselarasan, bahkan kontradiksi kebijakan, baik dilihat dari aspek
konsepsional, perundang-undangan, maupun program nasional dan global.
Ketiga, efisiensi penyelenggaraan
dan anggaran. Pelaksanaan UN SD akan membawa konsekuensi dalam berbagai
hal yang pada gilirannya akan membawa konsekuensi pada anggaran yang
tidak sedikit. Anggaran yang besar itu akan lebih bermanfaat apabila
diprioritaskan untuk menata dan memperbaiki kondisi pendidikan dasar (SD
dan SMP) baik mengenai sarananya maupun ketenagaannya. Dengan demikian,
perbaikan mutu pendidikan dasar dimulai dengan memanfaatkan dana secara
efisien dengan lebih tepat sasaran dan sesuai dengan kondisi yang ada.
Keempat, rentang keragaman.
Kondisi pendidikan baik di SD/MI maupun SMP/MTs saat ini berada dalam
rentangan keragaman yang sangat besar antar sekolah, antar daerah (antar
provinsi, antar kabupaten/ kota), antar status (negeri dan swasta)
dalam berbagai komponen seperti manajemen, sarana, personel, dan
sebagainya. Dengan berbagai latar belakang seperti geografis, ekonomis,
demografis, sosial, kultural, agama, dan etnis. Keadaan demikian sangat
tidak kondusif apabila dinilai dengan alat ukur berupa ujian nasional
yang sama dan seragam untuk seluruh Indonesia.
Kelima, peluang terjadinya
penyimpangan. Pelaksanaan UN SD dengan standar nasional dan dijadikan
sebagai alat penentu kelulusan dan ukuran mutu pendidikan serta
dikaitkan dengan kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan
kondisi yang mendorong terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan. Dari
pengalaman selama ini, penyimpangan telah terjadi seperti kebocoran soal
ujian, pengawasan yang sangat longgar, adanya tim sukses, dan
penyimpangan anggaran.
Keenam, beban guru dan personel
lainnya. Pelaksanaan UN SD memerlukan kesiapan para guru dan personel
sekolah lainnya. Kita semua maklum bahwa kondisi guru saat ini belum
sepenuhnya mampu menunjang pelaksanaan ujian nasional secara ideal.
Jumlah guru yang masih kurang, rendahnya mutu guru, kesejahteraan yang
tidak memadai, merupakan kendala dalam pelaksanaan UN SD. Dalam kondisi
seperti itu beban guru yang saat ini sudah berat akan makin berat lagi
dan pada gilirannya akan berdampak pada kinerja guru dan proses
pendidikan. Mengapa tidak diprioritaskan menata masalah guru terlebih
dahulu sebelum mereka dibebani tugas yang di luar kemampuan dan kondisi
mereka?
Ketujuh, beban orang tua dan
masyarakat. Pelaksanaan UN SD secara langsung ataupun tidak langsung
akan menambah beban orang tua dan masyarakat pada umumnya. Orang tua
akan menghadapi beban antara lain biaya dan kecemasan. Dalam kondisi
seperti itu bukan tidak mungkin akan terjadi berbagai penyimpangan
seperti dikemukakan di atas.
Penutup
Adalah hak pemerintah atau siapa
pun untuk menyatakan bahwa UN dimaksudkan sebagai upaya peningkatan mutu
pendidikan nasional. Akan tetapi, kebijakan dan pelaksanaannya
janganlah menjadikan guru berada dalam posisi yang sulit dan di
persimpangan jalan. Di satu pihak guru diakui otonominya sebagai insan
terdepan pendidikan, tetapi dengan ujian nasional guru telah dirampas
haknya sebagai penilai hasil pembelajaran.
Ujian nasional hanya salah satu
unsur sistem pendidikan nasional. Hal yang lebih penting adalah
membenahi sokoguru pendidikan nasional, seperti pemenuhan anggaran
sebagaimana diamanatkan oleh UUD, melengkapi sarana pendidikan,
menyediakan sumber belajar, membenahi guru dan tenaga kependidikan
lainnya, mewujudkan manajemen pendidikan yang profesional,
penyelenggaraan evaluasi pendidikan baik proses maupun hasil secara
objektif, komprehensif, dan berkesinambungan.
Bila hal itu telah terwujud sesuai
dengan PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan, dengan sendirinya
peningkatan mutu pendidikan nasional dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Perlu dicatat bahwa penyelesaian masalah pendidikan
harus berada dalam koridor paradigma pendidikan dan bukan dengan
arogansi yang berbasis kekuasaan, ambisi baik pribadi maupun politik,
dan sebagainya. [Pikiran Rakyat Online]